Selasa, 05 Agustus 2014

Bingkisan dari Perjalanan_1



Akhir - akhir ini saya kembali disibukkan dengan membaca tulisan,tulisan yang menurut saya  sangat mengagumkan,entah itu tentang cinta ataupun tentang realitas hidup yang dari hari kehari seakan terus mengalami stagnasi.....hingga tanpa sadar diri dan beserta instrumen2 yang membuat saya tetap hidup sampai saat ini seperti kembali menemukan sesuatu yang perlahan menjauh dan bahkan hilang....ini seperti metamorfosa ataupun reinkarnasi aktual alam imaginal...ah mungkin juga ini karena hadirmu,yang kembali dari perjalanan sunyi,yang tak pernah kutahu itu untuk apa,kemana dan darimana kau memulainya.........empat bulan yang lalu,dimana saat itu aku masih disibukkan dengan aktivitas,aktivitas  yang dengan penuh canda sering kukatakan" ini untuk kepentingan kemaslahatan umat,kemaslahatan umat negeri yang semakin hari semakin membuat semua orang seperti berada dalam labirin yang penuh lorong2 jebakan mematikan" saat itu kau sekejap hilang,membawa sebuah harapan yang sempat kumimpikan untuk membina suatu hubungan sebagai sepasang sahabat atau  membangun sebuah hubungan dalam percintaan hingga berakhir pada suatu hubungan fithrahwi dimana seorang lelaki mempunyai seorang istri begitupun sebaliknya.......yah mungkin itu hanya sebatas mimpi,dimana hanya waktu dan semesta yang mampu menjawabnya........

Seperti biasa, dia berjalan mengitari hari yang hampir saja senja. Entah apa yang berusaha Dia temukan.yang jelas,ini hampir menjadi rutinitasnya.hingga Dia hampir lupa, jika malam telah memanggilNya untuk kembali keperaduan. Sepertinya ada ketakutan tentang esok yang masih samar, ketakutan akan sejarah hidup yang mungkin saja berakhir bersama dengan hilangnya rona sunset, yang membuatnya tetap disitu hingga tepi terakhir dari tiap senja yang dilewtinya. 
Aku hendak bertanya, tentang waktu yang Dia lewati bersama senja,  tapi,, setiap kali kekuatan ku muncul untuk bertanya, sepertinya Dia telah tersadar oleh panggilan malam. aku ingin sepertiNya, tapi aku sendiri tidak tau, adakah sesuatu yang membut aku kuat mengitari hari yang hampir senja… satu jawaban yang ku kira telah ku mengerti, ketika Dia katakan, “Sunset itu Indah ya…: dan aku juga katakan “Iya… memang indah”. Akhirnya ku paksakan menanti, menemani senja, berharap bisa merasakan yang Dia rasakan, berharap temukan yang ingin di temukanNya. Seakan ingin berkata, aku telah merasakan sebelum engkau rasakan, aku telah temukan sebelum engkau temukan. Dalam kesendirian, aku di kejutkanNya, sambil tersenyum dan berkata, “sudahlah,, seharusnya Sunset itu memang indah”. Seakan melihat kesia – siaan atas semua yang ku lakukan.
Seorang Gadis kecil yang asik bermain dengan hempasan ombak tiba – tiba berbalik, dan tertawa kearahku. Seakan paham akan kata yang baru saja ku dengar… “ Ya TUHAN…” refleks mengantar ku bergerak memegang pergelangan gadis kecil itu. Hempasan ombak hampir saja menyeretnya. “ Terima kasih mas “… Aku perhatikan bibir mungil gadis kecil itu, tapi tak bergerak sama sekali. Hanya tarikan nafas begitu cepat yang aku saksikan. Seolah merasa ketakutan yang luar biasa. Sepasang tangan yang tertutup hingga pergelangan menyentuh bahu gadis kecil itu dengan lembut, seolah tak terasa oleh gadis kecil yang mungil itu. Sepasang mata bening dengan hiasan  Alis tebal yang melengkung indah menatapku. Kaku, Gugup, Mimpi, atau apalah namanya. Aku tak bisa berkata apa – apa bahkan menjawabnya. Hingga kusaksikan Giginya yang Putih dan tersusun rapi ketika ia mengulang kata yang kukira dari bibir mungil gadis kecil itu... hambusan angin pantai dan hempasan ombak menyadarkan seolah menegurku... ” nikmatilah milikmu sendiri”. Lalu ia berbalik dan melangkah setelah ku membalas ucapan terimkasihnya. Sepertinya itu yang membuatnya lama berdiri dalam ke tak berdayaanku. Hanya helai kain yang menutupi kepala dan sebagian wajahnya yang membuatku mengenalnya suatu saat. Begitu serasi dengan rona Sunset.
Aku lalu mengitari waktu yang ku anggap terbuat untukku, atau juga ku buat sendidri. Entahlah,,,,,
Terlarut dalam dekapan realitas semu, yang kuanggap ada, Terkagum dengan keindahan Sunset, yang sebentar lagi akan hilang dalam dekapan malam, Asik dengan nyanyian hempasan ombak yang hampir saja menelan kehidupan gadis kecil. Terbuai dengan desiran angin nakal, yang menyibakkan pelindung kesucian,,,,,,  ”Ahhh... Bagai mana aku akan mencarinya... tanpa nama ia berbalik dan melangkah entah kemana”... Jerit ku.
Jeritan pilu atas suatu pencarian diri yang hilang. Jerit kerinduan yang mempertemukan Hawa dan Adam... Jeritan Majnun yang terpisah dari Laila.
Ku tilik dari tempat Kukunya tumbuh, hingga tak terlewat sampai tumit. Tumit yang kusaksikan ketika ia berbalik meninggalkan ku. Tanah manakah yang mendapat kemuliaan, karena menjadi pijakan tapak Kakinya. Ku ikuti jejak itu, agar ku bisa memastikan bahwa tak ada duri yang mengganggu dan membuatnya sakit, agar ku bisa berterima kasih kepada tiap tanah yang rela jadi pijakannya, dan juga agar ku mendapat percikan Kemuliaan dari tiap tanah yang menjadi jejak Kakinya...Berharap jejak itu kan menuntunku ke arah yang kuinginkan, arah yang disana ku harapkan diriku berada. Hingga tak ku tahu lagi telah berapa senja yang kulewati, hingga ku tak peduli lagi dengan Sunset yang Dia katakan Indah.
Dan akhirnya langkahku terhenti, karena tak kulihat lagi Jejak itu. Ku berusaha menyelinap ke balik rerumputan, agar ku bisa menyaksikan Jejak yang kuharap menuntunku ke arahnya... ” Ibu,,, ayah disini,, aku bersamanya,,, aku menemukannya,,, dia bersembunyi di balik pohon ini,,, lihat Bu,, kemarilah... ”. Suara itu sangat dekat denganku. Bahkan Pohon Yang dimaksudnya tepat di belakangku. Kulihat Gadis kecil itu melambai, seperti mengharapkan seseorang mendekatinya.
Entah apa namanya,, hanya satu yang kurasakan, seperti mendapat kekuatan baru dalam keletihan. Jantungkupun begitu aktif, hingga detaknya seolah mebisikkan sesuatu. ”itu gadis kecil yang lebih paham darimu tentang Sunset”. Gadis kecil itu mengganti lambaiannya dengan menunjuk ke balik pohon ketika telah berada dalam gendongan Ibunya. ”Ayah memang disitu,, menanti kita, ketika kembali”... suara itu seperti tidak asing bagiku. Yaa... tidak salah lagi.. inilah pemilik kerudung yang serasi dengan rona Sunset. Tapi mana ayah dari gadis yang ada dalam gendongannya. Kenapa ia berjalan kearahku. Ku putari sekelilingku dengan pandangan. Tak ada orang lain selain kami. Kulayangkan pikiranku, mengingat kembali kejadian masa laluku. Tapi tak kudapatkan kejadian yang membuatku amnesia, hingga ku lupa dengan anak dan istriku... :-) Tapi kini Gadis kecil itu telah begitu dekat denganku, hingga kusaksikan dengan jelas. lengkungan Alis indah, menghiasi Mata bening perempuan yang menggendongnya. ” Ayahnya sudah dua tahun disini ” tatapannya jatuh ke samping ku disertai dengan linangan air mata. Tampak jelas, itu linangan air mata kerinduan, linangan Air yang karenanya seluruh mata air iri padanya, hanya karena ia lahir dari kerinduan yang memuncak, sementara Air yang lain, merindukan puncak. Tujuh jengkal dari tempatku berdiri, seonggok batu  dikelilingi batu lain yang lebih kecil, bagai struktur Tata Surya. ” ia pergi ketika Belqis baru berumur 1 tahun”...  anganku berputar mencari waktu yang ia sebutkan. Dan akhirnya kudapatkan ketika aku sedang asyk dengan tugas kuliah semsester pertengahan. Kuberusaha mengingat wajah rekan – rekan ku saat itu, tapi sampai sekarang mereka masih segar bugar, dan sibuk dengan kerjaan mereka masing – masing... ”sudahlah, mungkin ayah Belqis tidak ada hubungannya dengan saya”, Pikirku. Dalam angan ketak berdayaan ku, sesuatu hadir dlam diriku. Sebuah pertanyaan dan keheranan. Orang yang mendekap Belqis ini begitu belia untuk menjadi seorang Ibu. Tapi apa Sih yang tidak mungkin, bukankah Kemungkina itu selalu ada.. ? Dalam desiran angin sepoi-sepoi, terselip suara yang begitu lembut, hingga tak kurasakan sapuan angin yang bersamanya. ” Sejak Ayah dan Ibunya Pergi, Belqis Menganggapku sebgai Ibu”..
Inilah sosok mulia yang penuh kasih dan cinta yang tak terbatas pada ruang dan waktu, sosok impian para pengagum realitas abadi, sosok penyempurna sayap sayap patah lukisan kahlil gibran, semoga menatap qu dengan isyarat peleburan abadi dalam cawan kemuliaan... ?
Sampai akhirnya Dia kutemukan lagi denga Tubuh yang telah bungkuk, Tapi masih terasenyum sambil berkata, Sunset itu Indah ya..... dan Aku tetap saja mengartikannya dengan pemahaman yang dangkal.. Ya... Memang indah. Namun senja itu aku tak menyaksikan Sunset yang dikatakannya indah..Hanya Wanita Beralis Tebal Dengan Mata Bening, Pemilik Kerudung Serona Sunset yang duduk disampingku sambil menatapku dengan senyuman yang membuat iri bidadari penghuni kayangan.. Karena aku memilihnya......SEMOGA...... ?

hari ini aku melihatmu seperti biasanya aku dapat mengenalimu dari kejauhan,cukup dengan melihatmu berjalan dengan kepalamu tertunduk aku bisa mengenalimu.......yah sikap itulah yang kadang membuatku mengutarakan beberapa pertanyaan tapi dengan santai dan senyum yang datar kau menjawabnya "aku hanya menghitung langkahku disaat aku berangkat dari rumah dengan begitu aku bisa tau berapa jumlah langkah yang kuayunkan disetiap sadarku didunia ini"........saat itu aku berpikir mungkin kau terlalu terlena dengan obsesimu ingin menjadi seorang penulis.......dan sekarang setelah ia kembali ingin rasanya kupertanyakan lagi,sudah berapakah langkah kakimu kau jejakkan didunia ini?dengan kemampuanku yang minim dalam mengkalkulasikan angka akupikir,aku tak mampu menghitungnya,mungkin hanya dia sendiri dan tuhannya yang tau........dengan rasa keingin tahuanku tentangnya perlahan kucoba mendekat dan bertanya"apa kabarmu?"Sekilas kumelihat dirinya begitu nampak perubahan terjadi padanya........sejenak dalam hati,inikah akhir dari perjalanannya yang berbulan-bulan itu???perkara apa yang telah kau lewati hingga kau seperti ini?ingin rasanya pertanyaan2 itu kuutarakan langsung padanya........
dan haripun terus berlalu seperti biasa sampai kesempatan itupun hadir,ketika senja datang menawar dengan indah,dimana aku dan dia sedang duduk dipinggir pantai.......seperti percakapan umumnya mengawali pembicaraan kami yang menurutku itu seperti nostalgia.........ingin rasanya kutumpahkan seluruh isi kepala  agar aku tak bingung lagi merangkai berbagai macam pertanyaan yang tersimpan dalam otakku.......ingin rasanya kuraih wajahnya  kemudian mengarahkannya kewajahku  agar kubisa menatapnya lebih dalam biar merasuk,melewati bening bola matanya,dengan begitu mungkin aku bisa tahu sedikit  rahasia penyebab  garis bundar kehitam2an yang  melingkar dikelopak mata indahnya.........ingin rasanya kurebahkan kepalanya dalam pelukanku biar ia merasakan degup jantungku yang kian tak beraturan berdampingan dengannya..............
"bukankah jingga diujung sana sangat indah"?tanyaku menyela keheningan diantara kami........dengan  ekspresi diam ia hanya mengangguk pertanda membenarkan.......aku yang mengharapkan jawaban dari mulut mungilnya semakin bingung dengan ekspresinya yang diam.......sejenak aku berpikir mungkin ia sedang larut,lebur dalam panorama indah yang tersaji didepan kami,disela-sela desiran ombak pantai anging mamiri yang terkadang memecah kebisuan dimana ombak pantai anging mamiri terbilang keras dibulan april.........
Dikejauhan tampak dua orang anak kecil berlarian,yang satu perempuan dan yang satunya laki-laki..........kemudian aku berpikir,sekiranya kami seperti kedua anak kecil itu,yang berlarian,berkejaran tanpa ada kecanggungan yang menyelimuti dunia sadar kami,yang begitu bebas dengan tingkah lucu dan kadang nakal.......
Tiba-tiba terdengar teriakan yang tak pernah kuduga itu adalah dirinya......"Hari ini.....hari ini kuikrarkan diriku untuk bebas,terbebas dari cintamu yang tak pernah kumengerti"......setitik bening kecil menyerupai bola menyusuri  matanya.......kemudian ia melanjutkannya dengan kata semacam syair  berdurasi pendek......
Dulu....
Kau adalah rindu yang tak bernarasi
Kau adalah getar yang menghentak kalbu
Walau kutak mengerti akan cintamu
Akan arti adaku untukmu
Karena cinta telah membutakanku
Lalu semua hilang tanpa jejak yang harus kujejali
...................................
Dan sekarang
Diatas pasir yang kupijak ini
Pada desiran ombak pantai ini
Kucukupkan ketidakmengertianku
Kucukupkan kesia-sianku tuk mengenal cintamu
Biarlah cinta ini terbang mengikuti angin
 Biarlah..........
........................................................
Sejenak ia diam kemudian melangkah mendekat kearahku,dengan senyum kecil menghias dibibirnya.......senyum inilah yang sempat kuduga telah hilang dan tak akan pernah kulihat lagi..............

Selasa, 01 Januari 2013

Sekilas Sejarah La Kilaponto-Murhum-Haluoleo

Lelaki pemersatu jazirah dan kepulauan di tenggara sulawesi itu adalah Raja Buton ke-6, Sultan Buton I, bergelar Sultan Muhammad Isa Kaimuddin Khalifatul Khamis. Di Muna dia dikenal sebagai Lakilaponto. Konon pula di daratan Konawe dia adalah lelaki bergelar La Tolaki-Haluoleo. Setelah wafat, dia lebih dikenal dengan gelarnya sebagai Murhum: Sultan Murhum.
Selama hampir setengah abad, lebih kurang 46 tahun, dia berhasil mempersatukan jazirah tenggara sulawesi dan kepulauan sekitarnya dalam sebuah nation yang disebut Kesultanan Buton. Kedaulatannya terbentang mulai dari Selayar di Barat hingga Luwuk Banggai di Timur. Kedaulatan Kesultanan Buton tersebut yang bercorak sistem pemerintahan berlandaskan syariat Islam pada masa itu dikenal dan diakui oleh negara kesultanan yang lain di nusantara. Bahkan di jaringan kekhalifahan kesultanan dunia. Ketika itu Khilafah Islamiah di Turki-Istambul (Kesultanan Otsmaniah) sebagai pusat pemerintahan Islam mengakui kedaulatan Kesultanan Buton sebagai nation yang berdaulat, menjalankan secara penuh syariat Islam dalam sistem pemerintahannya. Oleh Khalifah Otsmaniah, Sultan Buton dianugerahi gelar Khalifatul Khamis—sebuah gelar yang umum digunakan oleh para sultan dalam jaringan kekhalifahan Otsmaniah.
Siapakah gerangan lelaki itu? Begitu melegendanya dia. Dalam sejarah Buton-Muna, dia adalah anak dari Sugimanuru, Raja Muna ke-3. Ibundanya bernama Watubapala, cucu dari Raja Buton ke-3 bergelar Batara Guru. Jadi La Kilaponto adalah cicit dari Batara Guru.
Syahdan, ketika masih remaja, suatu pagi dia duduk bersimpuh di hadapan ayahandanya. Diceritakannya tentang mimpinya semalam yang menggundahkan hatinya. Ia melihat dirinya dalam penampakan yang besar sekali. Dalam posisi berjongkok kedua lututnya bertumpu, berlutut di Buton. Muna di bawahnya. Dan kedua tangannya menjangkau daratan Konawe dan Moronene. Mendengar penuturan puteranya itu raja Sugimanuru tertegun. Sejurus kemudian ia berkata: “Daerah-daerah itu adalah negeri-negeri leluhurmu…”.
Tatkala beranjak remaja, oleh ayahandanya, Sugimanuru, dia dikirim untuk belajar adat, ilmu keksatriaan dan ketatanegaraan di Kerajaan Buton. Ketika itu kerajaan Buton adalah sebuah kerajaan yang telah memiliki sistem dan pranata ketatanegaraan yang lengkap pada masanya. Kelengkapan sistem pranata ketatanegaraan tersebut adalah sebagai konsekuensi kerajaan yang berada dalam jaringan kerajaan nusantara di tanah Jawa: Kerajaan Majapahit. Bagaimana tingkat peradaban kerajaan Buton kala itu? Naskah purbakala bertarikh sekitar tahun 1365 M, Kitab (Kakawin) Negara Kertagama tulisan Mpu Prapanca dalam pupuh LXXVII mendeskripsikan kerajaan Buton sebagai berikut: “Buton adalah daerah keresian, dijumpai lingga, di dalamnya (kerajaan) terbentang taman, terdapat saluran air (drainase) dan rajanya bergelar Yang Mulia Maha Guru...”. Tua Rade alias Tuan Raden, Raja Buton ke-4, putra Raja Manguntu (Batara Guru, Raja Buton ke-3) ketika pulang berkunjung dari negeri leluhurnya di Majapahit, dihadiahkan oleh Raja Majapahit sejumlah perlengkapan adat, bendera perang, sejumlah peralatan kesenian terbuat dari kuningan dan ilmu ketatanegaraan yang diterapkan layaknya di Majapahit. Tuan Raden dikenal juga dengan gelarnya: Sangia Sara Jawa.
Demikianlah, La Kilaponto kecil ditempa di Belo Baruga (semacam lembaga kaderisasi kepemimpinan) dalam lingkungan kerajaan Buton. Tatkala itu Raja Buton ke-6 Rajamulae bergelar Sangia yi Gola (yang manis bagai gula), yang juga adalah pamannya, diam-diam mengawasi kemanakannya yang memiliki potensi bakat tersebut.
Kelak setelah beranjak dewasa La Kilaponto dalam riwayat hidupnya banyak menorehkan warna. Tatkala diutus ke daratan Sulawesi guna mememadamkan ekspansi kerajaan Mekongga terhadap kerajaan Konawe dia sempat menikah di sana. Pernikahannya dengan putri kerajaan Konawe membuahkan tiga orang putri: Wa Konawe, Wa Poasia dan Wa Lepo-Lepo. Disini pula La Kilaponto yang atas jasanya memadamkan ekspansi kerajaan Mekongga maka dia dikukuhkan oleh sara mokole Konawe sebagai raja Konawe. La Tolaki-Haluoleo, demikian gelar yang diabadikan tatkala selama delapan hari delapan malam sara Konawe berunding, bermusyawarah membulatkan suara guna mengukuhkannya sebagai raja Konawe. Ketika La Kilaponto hendak kembali ke Muna-Buton menemui ayahandanya dan pamannya—dalam perjalanan dari Konawe melalui Tinanggea, tanpa sengaja dia bertemu wanita yang sangat memikat hatinya dan akhirnya dinikahinya pula. Belakangan, di kemudian hari wanita tersebut diketahui ternyata adalah saudara tirinya (bernama Wa Pogo alias Wa Karamaguna). Kejadian ini membuat murka ayahandanya, Raja Muna. Dia kemudian diusir, diharamkan menginjakkan kakinya di bumi Muna maupun Buton.
Betapa malangnya lelaki itu. Namun disatu sisi betapa beruntungnya dia. Oleh ayahandanya Sugimanuru maupun pamannya Sangia yi Gola, Raja Buton, dia diperbolehkan menuju ke Selayar selama pengasingannya. Selayar adalah negeri leluhurnya juga. Di Selayar bibinya yang bernama Wa Maligano (putri Raja Muna ke-2 Sugilaende) adalah permaisuri dari penguasa, Opu Selayar bergelar La Pati Daeng Masoro. Adapun adiknya yang telah dinikahinya diasingkan di pulau Kadatua. Begitu besarnya perhatian dan kasih sayang Sangia yi Gola terhadap para kemanakannya, La Kilaponto dan Wa Karamaguna. Dan mengingat pengabdian La Kilaponto selama belajar di Buton, Sangia yi Gola mengutus beberapa pengawal dan dayang-dayang mendampingi dan mengurus segala kebutuhan kemanakannya, Wa Karamaguna. Di pulau ini dibangun sebuah istana kecil dan benteng oleh para pengikut Wa Karamaguna, dikenal sebagai benteng Kadatua.
Foto: La Ode Marzuki S.Ip
Situs benteng peninggalan Wa Pogo/Wa Karamaguna di pulau Kadatua
Foto: La Ode Marzuki S.Ip
Situs makam Wa Pogo/Wa Karamaguna di pulau Kadatua
Betapa malangnya La Kilaponto. Namun betapa beruntungnya juga dia. Kelak peristiwa pengusiran dan pengasingannya itu akan menempanya menjadi manusia yang lebih matang dalam mengarungi kehidupannya. Peristiwa itu akan menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya. Selama di Selayar dia bersahabat dengan tokoh dan ksatria di sana, seperti Manjawari yang adalah sepupunya sendiri (putra La Pati Daeng Masoro) dan Batumbu (putera Raja Wajo). Batumbu juga adalah penguasa dari daerah Poleang dan Moronene.
Seperti umumnya perairan di nusantara, laut Flores di Selayar sering terganggu oleh gangguan lanun laut. Lanun, perompak bajak laut tersebut dikenal sebagai bajak laut Tobelo, sebagian terdiri dari orang-orang Portugis yang menggangu aktivitas pelayaran pengangkutan rempah-rempah di wilayah timur nusantara baik di Sulawesi Tenggara maupun Sulawesi Selatan (baca: Sureq Ilagaligo, Dr Van Kern). Ketika itu La Kilaponto bersama sepupunya (Manjawari) dan sahabatnya (Batumbu), memimpin perlawanan terhadap lanun laut tersebut. Kejar mengejar dan pertempuran bahkan seringkali terjadi sampai ke laut lepas dan terdampar sampai di pulau Marege (Aborigin-Australia).
Lanun Tobelo beroperasi hampir di seluruh laut nusantara wilayah timur, termasuk di perairan Buton yang memiliki armada pengangkut rempah-rempah dan pelabuhan transit kapal-kapal pengangkut rempah-rempah ke wilayah timur maupun barat. Aktivitas lanun Tobelo membuat galau Rajamulae. Lanun Tobelo telah sangat mengganggu keamanan dan ekonomi bukan hanya kerajaan Buton tetapi juga kerajaan lain sekitarnya. Sebagai raja dari sebuah kerajaan yang besar di masanya, Rajamulae merasa bertanggung jawab terhadap keamanan dan ekonomi di selat Buton dan perairan kerajaan lain di sekitarnya. Maka Rajamulae mengambil inisiatif menghimpun dan menyatukan semua kekuatan yang ada. Dibuatnya pula sayembara: barang siapa yang berhasil menaklukkan lanun Tobelo berikut pemimpinnya yang dikenal bernama La Bolontio maka akan dinikahkan dengan putri raja. Dalam Sureq I Lagaligo oleh orang Bugis-Makassar nama La Bolontio disebutkan sebagai La Bolong Tiong, artinya si hitam pekat.
Demikianlah sejumlah ksatria dari berbagai negeri turut serta dalam persekutuan tersebut guna menumpas lanun yang telah mengganggu perairan di kerajaan-kerajaan di seputar jazirah tenggara sulawesi itu. Tentu saja juga berarti ikut dalam sayembara tersebut. Rajamulae juga teringat akan kemanakannya, La Kilaponto yang masih dalam pengasingannya di Selayar. Maka dipanggillah kemanakannya itu. Sebelum menemui pamannya, Rajamulae, terlebih dahulu La Kilaponto menemui ayahandanya, Sugimanuru, guna memohon restu dan dimaafkan segala khilaf yang telah diperbuatnya. Oleh Sugimanuru kekhilafan putranya tersebut dimaafkan dan diizinkan menemui pamannya, menumpas lanun laut yang telah mengganggu kerajaan Buton, Muna dan kerajaan sekitarnya. “Berangkatlah ke Buton, bantulah pamanmu dan perbaikilah keturunanmu di sana…” demikian Sugimanuru berpesan pada putranya.
Bersama dengan sepupu dan sahabatnya, Manjawari dan Batumbu, maka berangkatlah La Kilaponto bersama sejumlah pasukan yang telah disiapkan oleh Raja Mulae untuk menumpas lanun Tobelo tersebut. La Bolong Tiong konon adalah lanun yang sakti, berbadan tinggi, kekar dan bermata satu (atau salah satu matanya rusak/buta). Demikianlah satu persatu, ketiga ksatria tersebut bertarung melawan La Bolontio. Dengan strategi bertarung yang sederhana, La Bolontio dapat ditaklukkan oleh La Kilaponto. La Bolontio takluk, kepala dan kemaluannya dipenggal. Seluruh lanun laut itu pun takluk oleh ketiga ksatria tersebut.

Foto: La Ode Marzuki, S.Ip
Tengkorak kepala La Bolontio
(perhatikan lubang tempat mata yang tampak hanya satu)
Dalam Buku Tembaga (Assajaru Huliqa Darul Bathniy wa Darul Munajat) dituliskan atas kemenangan pasukan gabungan dan ketiga ksatria tersebut yang dibawah naungan kerajaan Buton, Sangia yi Gola berpantun:
La Baabaate pekapanda karomu, Lakapolukaapeelomo lungona” (wahai kupu-kupu besar, rendahkanlah dirimu, Lakapoluka telah meminta isinya). Lakapoluka adalah nama suatu tempat di Boneatiro di teluk Kapontori. Disanalah La Bolontio dikuburkan. Lungo adalah mayat yang disimpan dalam peti sebelum dikuburkan.
Kawolena Wajo, pindana paepaeya” (ikan kering --yang dibelah-- oleh Wajo, pindangnya ikan paepaeya). Maksud pantun itu adalah memberi gambaran bagaimana Batumbu mengamuk membelah-belah tubuh pasukan La Bolontio. Pindangnya ikan paepaeya adalah alat vital La Bolontio yang telah dipenggal dan ditaruh dalam periuk tanah untuk diperlihatkan kepada Sangia yi Gola.
Semasa Rajamulae (bergelar Rajamulae karena yang memulai syiar Islam) pada tahun 1511 datanglah seorang ulama kharismatik dari Arab bernama Sayid Abdul Wahid. Ulama kharismatik ini berhasil mengislamkan Sangia yi Gola dan kerabat kerajaan lainnya. Di kalangan masyarakat Buton Sangia yi Gola dikenal juga dengan nama muslimnya: Umar Idgham. Dipeluknya Islam oleh Raja dan kerabat kerajaan berpengaruh besar dalam kehidupan ketatanegaraan dari sistem kerajaan Buton menjadi Kesultanan. Namun sebelum ketatanegaraan itu resmi, legal dibentuk, Sayid Abdul Wahid menyampaikan bahwa pembentukan sistem kesultanan harus dikordinasikan, dilegalisir, disyahkan atas restu Khilafah Islamiah di Istanbul-Turki yaitu pada Mufti Makkah dan Sultan Otsmaniah. Maka diutuslah Sayid Abdul Wahid ke Istanbul guna mendapatkan legalitas kerajaan menjadi kesultanan.
Setelah Sangia yi Gola, Umar Idgham uzur dan wafat, akhirnya La Kilaponto termasuk dipertimbangkan sebagai kandidat raja menggantikan pamannya sekaligus ayah mertuanya sebagai Raja Buton ke-6. Melalui pertimbangan yang matang dan musyawarah oleh Patalimbona (empat pemimpin sebagai dewan wakil Rakyat) Lakilaponto ditetapkan menggantikan pamannya, ayah mertuanya sebagai Raja Buton ke-6. Di Buton La Kilaponto dikenal juga dengan gelarnya Timbang-Timbangan.
Sayid Abdul Wahid melakukan perjalanan ke Turki selama kurang lebih 15 tahun. Ketika beliau kembali ke Buton, yang menjabat sebagai Raja adalah La Kilaponto. Sesuai dengan amanat Sangia yi Gola alias Umar Idgham maka Sayid Abdul Wahid melantik secara resmi Raja Buton ke-6 La Kilaponto sebagai Sultan Buton I dengan gelar Sultan Muhammad Isa Kaimuddin Khalifatul Khamis. Gelar Khalifatul Khamis (Khalifah ke-5) maksudnya adalah sebagai pelanjut Khalifah yang ke-4 (Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Gelar Khalifatul Khamis umum dipakai oleh para sultan yang berada dalam jaringan kekhalifahan Islamiah.
Versi lain mengatakan bahwa nanti pada tahun 948 H (1538 M) bertepatan hari Jumat datanglah utusan dari Khilafah Islamiah (Istambul-Turki) bernama Abdullah Waliullah dan utusan syarif Makkah (Masjidil Haram) bernama Syarif Ahmad maka La Kilaponto dilantik resmi menjadi Sultan Buton I.
Pada masa pemerintahan Sultan Murhum dengan dibantu oleh Sayid Abdul Wahid dan Syarif Muhammad (Saidi Raba), falsafah kerajaan Buton yang telah ada pada tahun 1292 M di zaman pemerintahan Patamiana (Patalimbona) dan Raja Buton ke-1 Wa Kaa Kaa yaitu falsafah Sara Budiman (Bhinci-Bhinciki Kuli) kembali dielaborasi dan dikembangkan. Pada saat itu Kesultanan Buton juga tengah menghadapi sejumlah ekspansi dari kerajaan lain seperti kerajaan Gowa dan Ternate. Falsafah yang dielaborasi dari Sara Budiman dengan mengakulturasikan ajaran Islam adalah falsafah jihad Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu yang kemudian menjadi Bolimo Karo Somanamo Lipu. Kedua falsafah Kesultanan Buton tersebut (Syara Budiman dan Bolimo Karo Somonamo Lipu) selanjutnya oleh Sultan Buton ke-4 Sultan Dayanu Ikhsanuddin bersama ulama Saidi Raba pada tahun 1610 M dielaborasi kembali bersama ajaran Wahdatul Wujud menjadi UUD Kesultanan Buton yaitu Murtabat Tujuh dan penjelasannya dalam UU (Istiadatul Azali). Dengan berkembangnya Islam di Kesultanan Buton maka kerajaan-kerajaan lain sekitarnya turut pula diIslamkan termasuk kerajaan Muna dan kerajaan Konawe. Syiar Islam yang dilakukan oleh Kesultanan Buton setelah ulama kharismatik Sayid Abdul Wahid dan Saidi Raba dilanjutkan oleh para ulama Buton yang digembleng dalam lingkungan keraton Kesultanan Buton. Tugas ini diemban dan diamanatkan kepada para ulama di Buton-- disebut sebagai Lebe (pengemban syiar Islam). Di Kerajaan Konawe agama Islam disyiarkan oleh cucu dari La Ngkariri (Sultan Buton ke-19, Oputa Sangia) bernama La Teke (masyarakat Konawe kemudian menyebutnya sebagai guru, Laode Teke).
Satu hal yang menarik bahwa berkembangnya ajaran Islam dijazirah tenggara sulawesi adalah berkat syiar Islam yang dilakukan oleh Kesultanan Buton dengan mengirimkan para ulamanya sebagai kontinuitas syiar Islam yang telah dilakukan oleh para pendahulunya yaitu Sayid Abdul Wahid dan Saidi Raba. Syiar Islam di jazirah tenggara sulawesi ini adalah perjuangan antara ulama dan umara mulai dari Sayid Abdul Wahid, Rajamulae (Umar Idgham), La Kilaponto (Muhammad Isa Kaimuddin), Saidi Raba (Syarif Muhammad), La Elangi (Dayanu Ikhsanuddin), La Ngkariri (Saqiyuddin Darul Alam).



Sultan Muhammad Isa Kaimuddin memerintah selama 26 tahun sebagai sultan dan sebelumnya selama 20 tahun memerintah sebagai raja. Pada tahun 1564 M, Sultan Muhammad Isa Kaimuddin wafat. Tatkala itu usianya mencapai 86 tahun. Beliau dimakamkan di dalam kawasan Benteng Keraton Kesultanan Buton yang berhadapan dengan Masjid Agung Keraton Buton. Setelah wafat beliau lebih dikenal dengan gelarnya: Sultan Murhum. Pada dinding makam bagian depan yang bercat putih tertulis relief aksara buri Wolio (huruf Arab-Wolio): Makam Sulthan Murhum.
Sumber : http://adf.ly/Fkc9

Senin, 31 Desember 2012

Selamat Tahun Baru 2013

Ketika embun menguap

seketika segala impian melanglang

ketika masa berganti

seketika kenangan lebur dalam picisan
................................................................
kelabu kemarin belum juga sirna

ketika engkau berkata dengan semesta

kau ingin menggapai suratan

maka terbanglah merengkuh impianmu
.................................................................
hei kau.......kau.......dan kau........

hei kau sang pemimpi.........

teruslah berkelana menyongsong aroma bayu

dengan segumpal asa yang tercecer dengan ragam isyarat

demi sebuah cita gemilang

semoga kau tak menghapus cinta diantara cinta
..................................................................
Selamat Tahun Baru 2013
Amirul Mu'min

Selasa, 11 Desember 2012

HUjan Kemarin


Masih ingin kukecup rindu itu
seperti disaat hujan basahi tubuh senja kemarin
disaat lakon perjuangan diteriakan
aku melihatmu,dengan gerai rambutmu yang indah
nyata disela - sela rintik hujan
..................................................
Aku bukan rindu ingin memelukmu
atau rindu saat bercengkrama denganmu

sebab ada sesal yang tersangkut diujung lidah
untuk kisah yang belum sempat terukir
kau pergi seperti membawa rahasia
....................................................
ada apa dengan senyum itu?
apakah hujan akhir musim tlah mengubur bahagiamu?
ataukah angin tlah membawa ceriamu?
kau begitu diam
begitu misteri
....................................................

Sabtu, 01 Desember 2012

selepas november

buaian november baru saja usai

namun auranya masih lekat tercium disetiap hela nafas

begitu ramah menyeka setiap sudut kepiluan

masih........masih bermain diubun-ubun
......................................................
Aku masih berdiri disini

menghela membiarkan kasih itu berlalu

menyisihkan ragam tanya yang menggoda

yah,aku masih disini menatap hingga lepas
.......................................................
Ketahuilah rasa itu tak pernah mati

Menantang badai jika desember adalah kelabu

kokoh tegap menanti akhir sisi perjuangan

karena rasa adalah ketetapan hati
......................................................
01 - 12 - 2012
AM

malam ini

Ketika malam ini aku harus menuliskan puisi

mungkin tentang serangga malam yang memadu kasih

disela-sela bisingnya sang penjaja malam

atau tentang sang penakluk malam

yang teriakannya menembus gelap

yang suaranya memekik mengadu nasib

atau tentang penggoda jalanan

yang suaranya memelas merayu

dalam lirihnya adalah kepahitan hidup

Sungguh menggugah rasa

Ironis memang
............
Tapi sayang aku enggan berjanji atau berikrar

menyematkan secuil harap dalam pigura yang setengah telanjang

Dengan ulasan senyum yang seakan menyeringai
.............
Bintang....!!!

seharusnya engkau memberi warna

mungkin akan tertinggal dalam jejak perjalanan

tapi kau biarkan kosong.....

Membisu.....dalam kehampaan

hanya nikmat separuh malam
............

Pagi ini

Pagi ini aku ingin menuliskan puisi untukmu

karena semerbak keharuman telah engkau tawarkan

juga kesejukan engkau warnai pula dengan syahdu

dengan hamparan kilau mentari

kau datang dengan sikap bijaksana

diantara amarah yang kian meraja

biarkan aku bebas seperti terbang dan jatuhnya bunga ilalang

mungkin nurani tak hampa

ini dunia yang aku rambah sekian waktu mencari keteduhan yang menggairahkan
.............
Makassar,1 muharam 1434 Hijriah