Selasa, 01 Januari 2013

Sekilas Sejarah La Kilaponto-Murhum-Haluoleo

Lelaki pemersatu jazirah dan kepulauan di tenggara sulawesi itu adalah Raja Buton ke-6, Sultan Buton I, bergelar Sultan Muhammad Isa Kaimuddin Khalifatul Khamis. Di Muna dia dikenal sebagai Lakilaponto. Konon pula di daratan Konawe dia adalah lelaki bergelar La Tolaki-Haluoleo. Setelah wafat, dia lebih dikenal dengan gelarnya sebagai Murhum: Sultan Murhum.
Selama hampir setengah abad, lebih kurang 46 tahun, dia berhasil mempersatukan jazirah tenggara sulawesi dan kepulauan sekitarnya dalam sebuah nation yang disebut Kesultanan Buton. Kedaulatannya terbentang mulai dari Selayar di Barat hingga Luwuk Banggai di Timur. Kedaulatan Kesultanan Buton tersebut yang bercorak sistem pemerintahan berlandaskan syariat Islam pada masa itu dikenal dan diakui oleh negara kesultanan yang lain di nusantara. Bahkan di jaringan kekhalifahan kesultanan dunia. Ketika itu Khilafah Islamiah di Turki-Istambul (Kesultanan Otsmaniah) sebagai pusat pemerintahan Islam mengakui kedaulatan Kesultanan Buton sebagai nation yang berdaulat, menjalankan secara penuh syariat Islam dalam sistem pemerintahannya. Oleh Khalifah Otsmaniah, Sultan Buton dianugerahi gelar Khalifatul Khamis—sebuah gelar yang umum digunakan oleh para sultan dalam jaringan kekhalifahan Otsmaniah.
Siapakah gerangan lelaki itu? Begitu melegendanya dia. Dalam sejarah Buton-Muna, dia adalah anak dari Sugimanuru, Raja Muna ke-3. Ibundanya bernama Watubapala, cucu dari Raja Buton ke-3 bergelar Batara Guru. Jadi La Kilaponto adalah cicit dari Batara Guru.
Syahdan, ketika masih remaja, suatu pagi dia duduk bersimpuh di hadapan ayahandanya. Diceritakannya tentang mimpinya semalam yang menggundahkan hatinya. Ia melihat dirinya dalam penampakan yang besar sekali. Dalam posisi berjongkok kedua lututnya bertumpu, berlutut di Buton. Muna di bawahnya. Dan kedua tangannya menjangkau daratan Konawe dan Moronene. Mendengar penuturan puteranya itu raja Sugimanuru tertegun. Sejurus kemudian ia berkata: “Daerah-daerah itu adalah negeri-negeri leluhurmu…”.
Tatkala beranjak remaja, oleh ayahandanya, Sugimanuru, dia dikirim untuk belajar adat, ilmu keksatriaan dan ketatanegaraan di Kerajaan Buton. Ketika itu kerajaan Buton adalah sebuah kerajaan yang telah memiliki sistem dan pranata ketatanegaraan yang lengkap pada masanya. Kelengkapan sistem pranata ketatanegaraan tersebut adalah sebagai konsekuensi kerajaan yang berada dalam jaringan kerajaan nusantara di tanah Jawa: Kerajaan Majapahit. Bagaimana tingkat peradaban kerajaan Buton kala itu? Naskah purbakala bertarikh sekitar tahun 1365 M, Kitab (Kakawin) Negara Kertagama tulisan Mpu Prapanca dalam pupuh LXXVII mendeskripsikan kerajaan Buton sebagai berikut: “Buton adalah daerah keresian, dijumpai lingga, di dalamnya (kerajaan) terbentang taman, terdapat saluran air (drainase) dan rajanya bergelar Yang Mulia Maha Guru...”. Tua Rade alias Tuan Raden, Raja Buton ke-4, putra Raja Manguntu (Batara Guru, Raja Buton ke-3) ketika pulang berkunjung dari negeri leluhurnya di Majapahit, dihadiahkan oleh Raja Majapahit sejumlah perlengkapan adat, bendera perang, sejumlah peralatan kesenian terbuat dari kuningan dan ilmu ketatanegaraan yang diterapkan layaknya di Majapahit. Tuan Raden dikenal juga dengan gelarnya: Sangia Sara Jawa.
Demikianlah, La Kilaponto kecil ditempa di Belo Baruga (semacam lembaga kaderisasi kepemimpinan) dalam lingkungan kerajaan Buton. Tatkala itu Raja Buton ke-6 Rajamulae bergelar Sangia yi Gola (yang manis bagai gula), yang juga adalah pamannya, diam-diam mengawasi kemanakannya yang memiliki potensi bakat tersebut.
Kelak setelah beranjak dewasa La Kilaponto dalam riwayat hidupnya banyak menorehkan warna. Tatkala diutus ke daratan Sulawesi guna mememadamkan ekspansi kerajaan Mekongga terhadap kerajaan Konawe dia sempat menikah di sana. Pernikahannya dengan putri kerajaan Konawe membuahkan tiga orang putri: Wa Konawe, Wa Poasia dan Wa Lepo-Lepo. Disini pula La Kilaponto yang atas jasanya memadamkan ekspansi kerajaan Mekongga maka dia dikukuhkan oleh sara mokole Konawe sebagai raja Konawe. La Tolaki-Haluoleo, demikian gelar yang diabadikan tatkala selama delapan hari delapan malam sara Konawe berunding, bermusyawarah membulatkan suara guna mengukuhkannya sebagai raja Konawe. Ketika La Kilaponto hendak kembali ke Muna-Buton menemui ayahandanya dan pamannya—dalam perjalanan dari Konawe melalui Tinanggea, tanpa sengaja dia bertemu wanita yang sangat memikat hatinya dan akhirnya dinikahinya pula. Belakangan, di kemudian hari wanita tersebut diketahui ternyata adalah saudara tirinya (bernama Wa Pogo alias Wa Karamaguna). Kejadian ini membuat murka ayahandanya, Raja Muna. Dia kemudian diusir, diharamkan menginjakkan kakinya di bumi Muna maupun Buton.
Betapa malangnya lelaki itu. Namun disatu sisi betapa beruntungnya dia. Oleh ayahandanya Sugimanuru maupun pamannya Sangia yi Gola, Raja Buton, dia diperbolehkan menuju ke Selayar selama pengasingannya. Selayar adalah negeri leluhurnya juga. Di Selayar bibinya yang bernama Wa Maligano (putri Raja Muna ke-2 Sugilaende) adalah permaisuri dari penguasa, Opu Selayar bergelar La Pati Daeng Masoro. Adapun adiknya yang telah dinikahinya diasingkan di pulau Kadatua. Begitu besarnya perhatian dan kasih sayang Sangia yi Gola terhadap para kemanakannya, La Kilaponto dan Wa Karamaguna. Dan mengingat pengabdian La Kilaponto selama belajar di Buton, Sangia yi Gola mengutus beberapa pengawal dan dayang-dayang mendampingi dan mengurus segala kebutuhan kemanakannya, Wa Karamaguna. Di pulau ini dibangun sebuah istana kecil dan benteng oleh para pengikut Wa Karamaguna, dikenal sebagai benteng Kadatua.
Foto: La Ode Marzuki S.Ip
Situs benteng peninggalan Wa Pogo/Wa Karamaguna di pulau Kadatua
Foto: La Ode Marzuki S.Ip
Situs makam Wa Pogo/Wa Karamaguna di pulau Kadatua
Betapa malangnya La Kilaponto. Namun betapa beruntungnya juga dia. Kelak peristiwa pengusiran dan pengasingannya itu akan menempanya menjadi manusia yang lebih matang dalam mengarungi kehidupannya. Peristiwa itu akan menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya. Selama di Selayar dia bersahabat dengan tokoh dan ksatria di sana, seperti Manjawari yang adalah sepupunya sendiri (putra La Pati Daeng Masoro) dan Batumbu (putera Raja Wajo). Batumbu juga adalah penguasa dari daerah Poleang dan Moronene.
Seperti umumnya perairan di nusantara, laut Flores di Selayar sering terganggu oleh gangguan lanun laut. Lanun, perompak bajak laut tersebut dikenal sebagai bajak laut Tobelo, sebagian terdiri dari orang-orang Portugis yang menggangu aktivitas pelayaran pengangkutan rempah-rempah di wilayah timur nusantara baik di Sulawesi Tenggara maupun Sulawesi Selatan (baca: Sureq Ilagaligo, Dr Van Kern). Ketika itu La Kilaponto bersama sepupunya (Manjawari) dan sahabatnya (Batumbu), memimpin perlawanan terhadap lanun laut tersebut. Kejar mengejar dan pertempuran bahkan seringkali terjadi sampai ke laut lepas dan terdampar sampai di pulau Marege (Aborigin-Australia).
Lanun Tobelo beroperasi hampir di seluruh laut nusantara wilayah timur, termasuk di perairan Buton yang memiliki armada pengangkut rempah-rempah dan pelabuhan transit kapal-kapal pengangkut rempah-rempah ke wilayah timur maupun barat. Aktivitas lanun Tobelo membuat galau Rajamulae. Lanun Tobelo telah sangat mengganggu keamanan dan ekonomi bukan hanya kerajaan Buton tetapi juga kerajaan lain sekitarnya. Sebagai raja dari sebuah kerajaan yang besar di masanya, Rajamulae merasa bertanggung jawab terhadap keamanan dan ekonomi di selat Buton dan perairan kerajaan lain di sekitarnya. Maka Rajamulae mengambil inisiatif menghimpun dan menyatukan semua kekuatan yang ada. Dibuatnya pula sayembara: barang siapa yang berhasil menaklukkan lanun Tobelo berikut pemimpinnya yang dikenal bernama La Bolontio maka akan dinikahkan dengan putri raja. Dalam Sureq I Lagaligo oleh orang Bugis-Makassar nama La Bolontio disebutkan sebagai La Bolong Tiong, artinya si hitam pekat.
Demikianlah sejumlah ksatria dari berbagai negeri turut serta dalam persekutuan tersebut guna menumpas lanun yang telah mengganggu perairan di kerajaan-kerajaan di seputar jazirah tenggara sulawesi itu. Tentu saja juga berarti ikut dalam sayembara tersebut. Rajamulae juga teringat akan kemanakannya, La Kilaponto yang masih dalam pengasingannya di Selayar. Maka dipanggillah kemanakannya itu. Sebelum menemui pamannya, Rajamulae, terlebih dahulu La Kilaponto menemui ayahandanya, Sugimanuru, guna memohon restu dan dimaafkan segala khilaf yang telah diperbuatnya. Oleh Sugimanuru kekhilafan putranya tersebut dimaafkan dan diizinkan menemui pamannya, menumpas lanun laut yang telah mengganggu kerajaan Buton, Muna dan kerajaan sekitarnya. “Berangkatlah ke Buton, bantulah pamanmu dan perbaikilah keturunanmu di sana…” demikian Sugimanuru berpesan pada putranya.
Bersama dengan sepupu dan sahabatnya, Manjawari dan Batumbu, maka berangkatlah La Kilaponto bersama sejumlah pasukan yang telah disiapkan oleh Raja Mulae untuk menumpas lanun Tobelo tersebut. La Bolong Tiong konon adalah lanun yang sakti, berbadan tinggi, kekar dan bermata satu (atau salah satu matanya rusak/buta). Demikianlah satu persatu, ketiga ksatria tersebut bertarung melawan La Bolontio. Dengan strategi bertarung yang sederhana, La Bolontio dapat ditaklukkan oleh La Kilaponto. La Bolontio takluk, kepala dan kemaluannya dipenggal. Seluruh lanun laut itu pun takluk oleh ketiga ksatria tersebut.

Foto: La Ode Marzuki, S.Ip
Tengkorak kepala La Bolontio
(perhatikan lubang tempat mata yang tampak hanya satu)
Dalam Buku Tembaga (Assajaru Huliqa Darul Bathniy wa Darul Munajat) dituliskan atas kemenangan pasukan gabungan dan ketiga ksatria tersebut yang dibawah naungan kerajaan Buton, Sangia yi Gola berpantun:
La Baabaate pekapanda karomu, Lakapolukaapeelomo lungona” (wahai kupu-kupu besar, rendahkanlah dirimu, Lakapoluka telah meminta isinya). Lakapoluka adalah nama suatu tempat di Boneatiro di teluk Kapontori. Disanalah La Bolontio dikuburkan. Lungo adalah mayat yang disimpan dalam peti sebelum dikuburkan.
Kawolena Wajo, pindana paepaeya” (ikan kering --yang dibelah-- oleh Wajo, pindangnya ikan paepaeya). Maksud pantun itu adalah memberi gambaran bagaimana Batumbu mengamuk membelah-belah tubuh pasukan La Bolontio. Pindangnya ikan paepaeya adalah alat vital La Bolontio yang telah dipenggal dan ditaruh dalam periuk tanah untuk diperlihatkan kepada Sangia yi Gola.
Semasa Rajamulae (bergelar Rajamulae karena yang memulai syiar Islam) pada tahun 1511 datanglah seorang ulama kharismatik dari Arab bernama Sayid Abdul Wahid. Ulama kharismatik ini berhasil mengislamkan Sangia yi Gola dan kerabat kerajaan lainnya. Di kalangan masyarakat Buton Sangia yi Gola dikenal juga dengan nama muslimnya: Umar Idgham. Dipeluknya Islam oleh Raja dan kerabat kerajaan berpengaruh besar dalam kehidupan ketatanegaraan dari sistem kerajaan Buton menjadi Kesultanan. Namun sebelum ketatanegaraan itu resmi, legal dibentuk, Sayid Abdul Wahid menyampaikan bahwa pembentukan sistem kesultanan harus dikordinasikan, dilegalisir, disyahkan atas restu Khilafah Islamiah di Istanbul-Turki yaitu pada Mufti Makkah dan Sultan Otsmaniah. Maka diutuslah Sayid Abdul Wahid ke Istanbul guna mendapatkan legalitas kerajaan menjadi kesultanan.
Setelah Sangia yi Gola, Umar Idgham uzur dan wafat, akhirnya La Kilaponto termasuk dipertimbangkan sebagai kandidat raja menggantikan pamannya sekaligus ayah mertuanya sebagai Raja Buton ke-6. Melalui pertimbangan yang matang dan musyawarah oleh Patalimbona (empat pemimpin sebagai dewan wakil Rakyat) Lakilaponto ditetapkan menggantikan pamannya, ayah mertuanya sebagai Raja Buton ke-6. Di Buton La Kilaponto dikenal juga dengan gelarnya Timbang-Timbangan.
Sayid Abdul Wahid melakukan perjalanan ke Turki selama kurang lebih 15 tahun. Ketika beliau kembali ke Buton, yang menjabat sebagai Raja adalah La Kilaponto. Sesuai dengan amanat Sangia yi Gola alias Umar Idgham maka Sayid Abdul Wahid melantik secara resmi Raja Buton ke-6 La Kilaponto sebagai Sultan Buton I dengan gelar Sultan Muhammad Isa Kaimuddin Khalifatul Khamis. Gelar Khalifatul Khamis (Khalifah ke-5) maksudnya adalah sebagai pelanjut Khalifah yang ke-4 (Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Gelar Khalifatul Khamis umum dipakai oleh para sultan yang berada dalam jaringan kekhalifahan Islamiah.
Versi lain mengatakan bahwa nanti pada tahun 948 H (1538 M) bertepatan hari Jumat datanglah utusan dari Khilafah Islamiah (Istambul-Turki) bernama Abdullah Waliullah dan utusan syarif Makkah (Masjidil Haram) bernama Syarif Ahmad maka La Kilaponto dilantik resmi menjadi Sultan Buton I.
Pada masa pemerintahan Sultan Murhum dengan dibantu oleh Sayid Abdul Wahid dan Syarif Muhammad (Saidi Raba), falsafah kerajaan Buton yang telah ada pada tahun 1292 M di zaman pemerintahan Patamiana (Patalimbona) dan Raja Buton ke-1 Wa Kaa Kaa yaitu falsafah Sara Budiman (Bhinci-Bhinciki Kuli) kembali dielaborasi dan dikembangkan. Pada saat itu Kesultanan Buton juga tengah menghadapi sejumlah ekspansi dari kerajaan lain seperti kerajaan Gowa dan Ternate. Falsafah yang dielaborasi dari Sara Budiman dengan mengakulturasikan ajaran Islam adalah falsafah jihad Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu yang kemudian menjadi Bolimo Karo Somanamo Lipu. Kedua falsafah Kesultanan Buton tersebut (Syara Budiman dan Bolimo Karo Somonamo Lipu) selanjutnya oleh Sultan Buton ke-4 Sultan Dayanu Ikhsanuddin bersama ulama Saidi Raba pada tahun 1610 M dielaborasi kembali bersama ajaran Wahdatul Wujud menjadi UUD Kesultanan Buton yaitu Murtabat Tujuh dan penjelasannya dalam UU (Istiadatul Azali). Dengan berkembangnya Islam di Kesultanan Buton maka kerajaan-kerajaan lain sekitarnya turut pula diIslamkan termasuk kerajaan Muna dan kerajaan Konawe. Syiar Islam yang dilakukan oleh Kesultanan Buton setelah ulama kharismatik Sayid Abdul Wahid dan Saidi Raba dilanjutkan oleh para ulama Buton yang digembleng dalam lingkungan keraton Kesultanan Buton. Tugas ini diemban dan diamanatkan kepada para ulama di Buton-- disebut sebagai Lebe (pengemban syiar Islam). Di Kerajaan Konawe agama Islam disyiarkan oleh cucu dari La Ngkariri (Sultan Buton ke-19, Oputa Sangia) bernama La Teke (masyarakat Konawe kemudian menyebutnya sebagai guru, Laode Teke).
Satu hal yang menarik bahwa berkembangnya ajaran Islam dijazirah tenggara sulawesi adalah berkat syiar Islam yang dilakukan oleh Kesultanan Buton dengan mengirimkan para ulamanya sebagai kontinuitas syiar Islam yang telah dilakukan oleh para pendahulunya yaitu Sayid Abdul Wahid dan Saidi Raba. Syiar Islam di jazirah tenggara sulawesi ini adalah perjuangan antara ulama dan umara mulai dari Sayid Abdul Wahid, Rajamulae (Umar Idgham), La Kilaponto (Muhammad Isa Kaimuddin), Saidi Raba (Syarif Muhammad), La Elangi (Dayanu Ikhsanuddin), La Ngkariri (Saqiyuddin Darul Alam).



Sultan Muhammad Isa Kaimuddin memerintah selama 26 tahun sebagai sultan dan sebelumnya selama 20 tahun memerintah sebagai raja. Pada tahun 1564 M, Sultan Muhammad Isa Kaimuddin wafat. Tatkala itu usianya mencapai 86 tahun. Beliau dimakamkan di dalam kawasan Benteng Keraton Kesultanan Buton yang berhadapan dengan Masjid Agung Keraton Buton. Setelah wafat beliau lebih dikenal dengan gelarnya: Sultan Murhum. Pada dinding makam bagian depan yang bercat putih tertulis relief aksara buri Wolio (huruf Arab-Wolio): Makam Sulthan Murhum.
Sumber : http://adf.ly/Fkc9